Selasa, 15 Maret 2016

0

Talenta yang Menyelamatkan
Oleh : Garry Ariel Cussoy

Siang itu, teriknya mentari sangat menyengat kulit. Dengan perlengkapan seadanya, Andre, seorang pemuda berumur 17 tahun, pergi ke hutan yang berada kurang lebih 8 km dari rumahnya untuk mencari kayu hutan. Kayu-kayu ini nantinya akan dijual kepada tukang-tukang pengrajin kayu. Sudah setiap hari, ia melakukan pekerjaan ini untuk mencari nafkah bagi keluarganya, meskipun pendapatannya tidak sebanding dengan perjuangannya.  Maklum, karena ia adalah anak tunggal di keluarganya dan ayahnya telah meninggal sejak usianya masih kanak-kanak. Ibunya pun saat ini menderita radang usus buntu semenjak  setahun terakhir, sehingga Andre harus berjuang untuk mencari biaya pengobatan ibunya. Andre pun menjadi tulang punggung bagi keluarganya.  Karena keadaannya saat ini, Andre juga harus rela meninggalkan bangku sekolahnya saat ia beranjak naik ke kelas 12.
            Disekolahnya dulu, Andre terkenal sebagai murid yang pintar, khususnya pada bidang pelajaran matematika. Ia sering meraih peringkat 3 besar di kelasnya. Selain itu, ia juga sering mengikuti kegiatan dan lomba matematika antarsekolah. Tak heran, banyak piala, sertifikat, dan sebagainya tersimpan dirumahnya.
            Meski demikian, seolah-olah sekolah tak melihat segudang prestasinya itu. Karena kondisi keuangan, Andre pun mau tak mau harus tetap meninggalkan bangku sekolah. Namun Andre masih tetap dapat bersyukur, karena meski ia tak sekolah, ia masih memiliki teman-teman yang setia menolong dia dalam berbagai masalah. Baik suka maupun duka.
            Hari pun semakin sore. Matahari sudah mulai tenggelam perlahan. Dengan sisa tenaganya hari itu, Andre bergegas pergi ke tempat penjualan kayu dan kemudian pulang kerumahnya yang berada di sebuah desa kecil. Desa itu hanya terdiri dari beberapa keluarga yang sangat sedikit jumlahnya. Masing-masing keluarga itu tinggal di rumah-rumah yang minimalis, bahkan bisa dibilang tak layak dihuni. Setiap rumah di desa itu berjarak cukup jauh antara satu dengan yang lainnya.
            Sesampainya dirumah, Andre segera mandi dan menyiapkan makanan untuk ia dan ibunya, yang saat itu sedang beristirahat dikamar. Dengan bahan makanan dan peralatan seadanya, Andre mulai memasak. Selesai memasak, Andre pun membangunkan ibunya untuk makan.
            “Oh nak, kamu sudah pulang?” Tanya ibunya Andre.
            “Iya bu. Saya juga sudah buatkan makanan. Ayo kita makan dulu, agar ibu bisa minum obat dan kembali beristirahat.”
            “Baiklah, terima kasih ya nak.”
            Mereka segera menikmati makanan yang sudah tersedia. Hari yang sudah semakin malam, mebuat suasana saat itu menjadi hening. Suara jangkrik mulai terdengar semakin keras, yang mebuat kesan tersendiri malam itu. Segera setelah mereka makan, mereka beristirahat. Hari itupun berlalu.
            Fajar pagi menyingsing. Menandai aktivitas di hari yang baru segera dimulai. Andre menyiapkan makan untuk sarapan, seperti pada hari-hari yang lain. Ketika Andre dan ibunya makan pagi itu, 2 sahabat Andre, Bima dan Coki datang menghampiri rumahnya dengan membawa selembar kertas koran. Andre segera membukakan pintu.
            “Oh hai. Ada apa pagi-pagi begini sudah mampir kerumah ku?” Tanya Andre.
            “Ini Ndre, ada kabar bagus. Coba lihat!” Jawab Bima, sambil menunjukkan koran yang ia pegang.
            “Apa ini?” Tanya Andre penasaran, sambil membaca koran yang diberikan kepadanya. “Oh, ada lomba matematika ya?”
            “Iya, kamu kan suka banget sama pelajaran matematika. Udah gitu jago lagi. Dan kebetulan kami menemukan koran ini. Pas kami liat, ternyata ada berita tentang lomba matematika yang terbuka untuk siapa saja se-Jawa Barat dengan batas umur dari 15-18 tahun. Jadi ya kami kasitau aja ke kamu.” Jawab Coki.
            “Hadiahnya pun lumayan banget kan kalau kamu bisa menang. Bisa bantu kamu untuk tolong ibu kamu berobat. Hanya sekali kompetisi dan hadiahnya langsung didapat hari itu juga. Waktunya masih sebulan lagi, jadi masih banyak waktu untuk siapin.  Aku yakin, kamu pasti bisa.” Sahut Bima.
            “Wah, makasih ya untuk info dan semangatnya. Aku akan coba deh. Sekali lagi makasih ya!” Balas Andre dengan hati yang sangat senang.
            “Iya, sama-sama Ndre. Berjuang ya! Goodluck! Kami akan selalu berdoa buat kamu.” Sahut Bima menyemangati Andre.
            Kedua sahabatnya kemudian pulang. Andre segera masuk kerumah dan memberitaukan kepada ibunya. Ibunya Andre juga merasa sangat senang, dan mendukung putra tunggalnya itu untuk mengikuti kompetisi itu.
            Semenjak hari itu, Andre mulai mempersiapkan segala materi yang akan dilombakan nantinya. Ia belajar dengan tekun menggunakan buku olimpiade nya yang sudah berdebu, karena sudah lama tak ia buka. Dengan penuh semangat, setiap harinya ia belajar hingga larut malam. Tak lupa, segala usahanya dibarengi dengan doa.  Ditengah kesibukannya menyiapkan lomba itu, ia juga tak mengabaikan tanggung jawabnya sebagai tulang punggung keluarga.
            Hari-haripun berlalu. Waktu terasa berjalan begitu cepat bagi Andre, karena ia melewati hari-harinya dengan penuh semangat. Ia berpikir, mungkin inilah jalan keluar yang Tuhan berikan akan masalahnya. Sehingga ia tak pernah menyia-nyiakan kesempatan berharga itu.
            Dan sampailah pada hari perlombaan itu. Pagi itu, Andre bangun sedikit lebih awal dari biasanya karena waktu perlombaan cukup pagi, dan tempatnya sangat jauh. Andre segera mandi, dan menyiapkan makanan. Karena sudah terbiasa makan bersama, Andre pun berniat membangunkan ibunya untuk makan bersama.
            Namun suatu hal yang mengejutkan terjadi. Pagi itu, ibunya tak sadarkan diri. Keadaanya sudah sangat lemah, dan harus segera mendapat pertolongan medis. Seketika itu juga, segala yang ada di pikirannya buyar. Perlombaan matematika yang sudah lama ia tunggu-tunggu, seketika itu juga lenyap dari pikirannya. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan. Air matanya pun tak kuat lagi ia tahan untuk terjatuh. Dan akhirnya, iapun segera pergi menuju rumah seorang dokter di desa itu, yaitu Bu Desi.
            Saat Andre membuka pintu rumahnya untuk pergi, ia terkejut melihat kedua sahabatnya berada di depan rumah. Bima dan Coki berniat untuk memberi semangat kepada Andre. Namun karena melihat raut muka Andre, dan juga tangisannya, mereka menjadi bingung.
            “Hai Andre. Ada apa? Kenapa kamu menangis?” Tanya Bima pada Andre.
            “Ibuku Bim.” Jawabnya sambil menangis.
            “Kenapa dengan ibumu?” Tanya Bima lagi.
            “Iya, ada apa Ndre?” Tambah Coki.
            “Ibuku, ibuku tak sadarkan diri. Keadaanya juga sangat lemah dan demamnya sangat tinggi. Sekarang, aku mau pergi memanggil Bu Desi. ” Jawab Andre.
            “Oke baiklah, biarkan kami berdua yang pergi memanggil Bu Desi. Kamu tunggu saja dulu disini. Kami akan segera kembali.” Respon Coki.
            “Baiklah. Terimakasih sahabat-sahabatku!”
            Bima dan Coki segera pergi menuju rumah Bu Desi. Rumahnya tak terlalu jauh dari rumah Andre. Sementara itu, Andre kembali masuk kerumahnya, dan menjaga ibunya yang terbaring lemah. Cucuran air mata Andre terlihat semakin deras. Semakin terlihat kebingungan pada raut wajahnya. Ia hanya bisa berpasrah dan berdoa, berharap ibunya akan tetap baik-baik saja.
            Setelah kurang lebih 10 menit, Bu Desi pun sampai di rumah Andre bersama dengan Bima dan Coki. Dengan sigap, Bu Desi memeriksa keadaan ibu Andre.
            “Bagaimana bu keadaan ibu saya?” Tanya Andre yang mencoba untuk tegar.
            Dengan muka yang cemas Bu Desi menjawab, “Maaf ya Ndre. Tapi sepertinya, ibu kamu harus segera dilarikan ke rumah sakit untuk segera melakukan operasi usus buntunya. Karena kondisinya sudah semakin parah. Kalau dibiarkan, usus buntunya dapat pecah. Namun sayangnya, peralatan di desa ini tidaklah memadai.”
            Tanpa pikir panjang saat itu, Andre mengambil keputusan untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Bu Desi dan kedua sahabat Andre pun dengan segera menolong Andre untuk membawa ibunya ke rumah sakit terdekat. Meskipun rumah sakit terdekat itu berjarak kurang lebih 15 km.
            Dengan meminjam sebuah mobil milik kepala desa, satu-satunya mobil yang ada di desa itu, mereka segera berangkat menuju rumah sakit. Kepala desapun ikut beserta mereka. Pikiran Andre saat itu tak karuan. Ia khawatir akan biaya yang dibutuhkan untuk pengobatan ibunya. Namun kedua sahabatnya berusaha menenangkannya.
            Dan akhirnya, sampailah mereka di rumah sakit. Bu Desi dan yang lain segera turun dari mobil dan memanggil suster yang bertugas untuk segera membawa ibunya Andre masuk kedalam rumah sakit dan segera mendapatkan pertolongan. Namun Andre hanya duduk menemani ibunya di mobil.
            Tak lama setelah suster itu datang, dibawalah ibunya Andre ke ruang UGD. Andre dan yang lainnya pun mengikuti suster tersebut, namun hanya sampai didepan ruang UGD. Karena hanya pasien dan tim medisnya saja yang boleh masuk. 
            Andre hanya duduk diam saja saat itu tanpa sepatah katapun, sambil menunggu perkembangan kondisi selanjutnya. Tak lama, seorang dokter yang menangani ibunya Andre keluar dari ruang UGD.
            “Bagaimana dok ibu saya?” Tanya Andre
            “Maaf. Ibu anda harus segera dioperasi. Karena kondisinya sudah semakin memburuk. Dan biaya untuk melakukan operasi ini sebesar 10 juta rupiah.”
            Seketika itu, air mata Andre mengalir semakin deras tak terbendung. Teman-temannya hanya diam dan mendekatinya sambil mengelus pundaknya. Percakapan pun terhenti.
            “Maaf dok, tapi saat ini kami hanya ada uang sebesar 3 juta rupiah. Bisakah operasi ini dilaksanakan segera? Kami berjanji akan segera melunasinya.” Tanya Bu Desi pada dokter untuk mengambil alih percakapan yang saat itu sempat terputus.
            “Maaf bu, tapi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di rumah sakit ini, seminimalnya sudah harus ada 80% dari keseluruhan biaya.”
            “Apakah tidak ada keringanan dok?”
            “Maaf bu, tapi saya hanya menjalankan ketentuan yang ada.”
            Mereka semua bingung mencari solusinya. Bagaimanakah cara mencari 5 juta rupiah dalam waktu yang singkat? Disaat mereka mengira harapan sudah tak ada, muncullah sebuah titik terang.
            “Andre! Aku tau. Masih ada harapan. Lomba matematika itu.” Sahut Bima, memecah keheningan saat itu.
            “Iya benar, lomba itu! Kita bisa mendapatkan uang 5 juta rupiah!” Tambah Coki.
            Lomba matematika yang sempat terlupakan oleh Andre, kini kembali muncul dipikirannya. Dan dengan lomba itu, harapan kembali muncul. Semangat pada diri Andre bertahap mulai kembali. Ia melihat, sebuah peluang besar masih ada.
            Ditengah kondisinya, Andre memutuskan untuk mencoba mengikuti kompetisi itu. Ia melihat jam yang tergantung ditembok rumah sakit, dan ternyata waktunya masih bisa untuk mengikuti lomba itu.
            “Ya kalian benar. Masih ada harapan! Kalau begitu, akan aku coba.”  
            Mendengar hal itu, kepala desa segera berinisiatif untuk mengantar Andre menuju tempat perlombaan yang berada di sebuah universitas ternama di kota tersebut. Sementara Bima, Coki, dan Bu Desi menunggu di rumah sakit.
            Segeralah Andre dan kepala desa berangkat. Dengan kecepatan penuh, sang kepala desa mengemudikan mobilnya. Perjalanan memakan waktu sekitar 30 menit.
            Setibanya disana Andre segera berlari dan mendaftarkan dirinya. Dengan uang 50 ribu dikantongnya, hasil tabungannya selama sebulan, ia menggunakannya sebagai uang pendaftaran. Sementara itu, kepala desa menunggu Andre di mobilnya.
             5 menit berselang, terdengar pengumuman yang mengaharuskan setiap peserta lomba memasuki ruangan masing-masing untuk mendapatkan pengarahan. Andre pun bergerak menuju ruangannya, yaitu ruang 15. Ruangan ini khusus untuk peserta yang baru medaftar secara langsung ditempat tersebut.
            Pengawas ruangan pun datang, kemudian membagikan lembar pengisian jawaban kepada peserta. Setelah itu, pengawas membacakan aturan-aturan dari perlombaan tersebut. Selagi aturan dibaca, peserta mengisi biodata diri pada lembar jawaban yang telah dibagikan.
            Selesai dibacakan, pengawas membagikan 5 lembar kertas soal yang berisikan 50 butir soal pilihan ganda. Tak lama, bel tanda perlombaan dimulai berbunyi. Sebelum Andre mengerjakan, ia pun berdoa sejenak. Segera setelah berdoa, Andre membuka kertas soal, dan mulai mengerjakan. Waktu yang tesedia 150 menit.
            Perlahan, semangatnya kembali meningkat. Konsentrasinya kembali terkumpul. “Tunggu aku bu! Aku berjanji akan berusaha semaksimal mungkin untuk membayar biaya pengobatan ibu. Sehingga ibu bisa segera dioperasi dan kembali sembuh!” Pikirnya dalam hatinya. Inilah salah satu yang memotivasinya saat itu untuk terus berjuang dan mendapatkan peringkat satu pada perlombaan tersebut.
            Waktu terus berjalan. Soal demi soal pun mulai terjawab. Pikirannya pun semakin jernih dari waktu ke waktu.
 Tanpa terasa, waktu sudah hampir habis. Lembar jawaban Andre terlihat sudah hampir penuh. Empat puluh tujuh soal sudah ia jawab. 
Dan akhirnya, bel kembali berbunyi. Kali ini menandakan berakhirnya perlombaan. Pengawas beranjak dari tempat duduknya, dan mengambil semua lembar jawaban yang ada pada meja peserta. Ada yang menjawab 20 soal, 30 soal, 40 soal, namun terlihat, bahwa Andre lah yang menjawab soal terbanyak. Meski demikian, nilai ditentukan bukan berdasarkan banyaknya soal yang dijawab. Sistem penilaian berdasarkan pada poin terbesar dengan ketentuan menjawab benar mendapat poin 4, salah -1, dan dikosongkan 0.
Panitia perlombaan pun segera memberitaukan kepada seluruh peserta untuk menunggu selama 1 jam, sampai hasil pekerjaan peserta selesai diperiksa. Saat itulah, saat yang paling mendebarkan dalam hidup Andre. Ia merasa sangat tegang, takut, dan cemas akan hasilnya. Karena hasil inilah yang akan menentukan apakah proses pengobatan ibunya berjalan atau tidak.
Di tempat lain, Bima, Coki, dan Bu Desi pun merasa sangat khawatir. Kepala desa yang menunggu di mobil juga merasa demikian. Mereka terus berdoa, agar Andre dapat memberikan hasil yang terbaik. Dan mereka yakin bahwa Andre mampu, Andre pasti bisa.
Masa penantian pun berlalu. Setiap peserta diharuskan memasukki aula universitas tersebut untuk mendengarkan hasil kompetisi. Disana berkumpul 321 peserta. Hati Andre berdebar-debar. Ia benar-benar memerhatikan setiap kalimat yang diucapkan oleh panitia. Sambil berdoa dalam hati dan berharap, namanya akan disebutkan.
Dan hasil pun mulai dibacakan. Dimulai dari peringkat ketiga, kedua, dan baru peringkat pertama.
“Ya, dan berikut ini, nama-nama peserta yang meraih peringkat tiga besar pada kompetisi matematika se-Jawa Barat tahun 2012.” Ucap panitia.
Peringkat ketiga pun dibacakan. Dan nama Andre tak disebut. Kemudian peringkat kedua dibacakan, dan lagi, namanya tak disebut. Dan sampailah pada pengumuman peringkat pertama. Saat-saat yang benar-benar menentukan.
“Dan, yang meraih peringkat pertama dengan nilai 153 adalah … “ Kata panitia dengan penuh semangat yang kemudian memberikan jeda sekitar 30 detik sebelum dilanjutkan. “Selamat kepada Andre Widiasmoro! Kepada Andre, dipersilahkan untuk maju kedepan!”
Senang, bangga, semua perasaan Andre bercampur jadi satu saat itu. Tak ia sangka, namanya akhirnya disebutkan. Harapan dan doanya terjawab seketika itu. Ia benar-benar sangat bersyukur. Dan dengan langkah yang tegap, ia segera maju mendekati panitia yang baru saja mengumumkan hasilnya.
Dari hasil ini, Andre mendapatkan sebuah sertifikat, piala, dan uang tunai senilai 5 juta rupiah. Uang yang sangat ia butuhkan, akhirnya dapat ia genggam.
Setelah selesai, Andre segera berlari menuju mobil kepala desa. Ketika masuk ke mobil sambil membawa piala, kepala desa langsung mengerti bahwa Andre telah berhasil. Ia pun turut bergembira atas kemenangan itu.
Tanpa menunggu, kepala desa mulai mengemudikan mobilnya sampai kecepatan maksimal menuju rumah sakit. “Aku datang bu! Aku membawa uang untuk biaya operasi ibu! Ibu bertahan ya, aku akan segera sampai. Aku sayang ibu!” Pikirnya dalam hati, sementara matanya berlinangan air mata.
Sesampainya disana, Bima dan Coki segera menghampiri Andre. Mereka bertanya akan hasil dari kompetisi tersebut. Dan setelah mereka mengetahui hasilnya, mereka menepuk pundak Andre, dan menyalaminya.
Tanpa berlama-lama, Andre dan yang lain menuju ruang administrasi. Mereka membayarkan sejumlah uang yang diperlukan untuk melakukan operasi.
Operasi pun akhirnya dimulai. Andre memasrahkan semuanya pada Tuhan. Dan tetap berharap, ibunya akan baik-baik saja.
Operasi berlangsung kurang lebih 3 jam.  Sampai akhirnya, seorang dokter yang mengoperasi keluar dari ruang operasi, dan memberitakan sebuah kabar sukacita.
“Andre Widiasmoro?” Tanya sang dokter dengan muka yang terarah pada Andre.
“Iya benar. Bagaimana dok kondisi ibu saya?”
“Kamu patut bersyukur. Karena waktu operasi berlangsung tepat waktu. Sehingga saat ini, ibu kamu dalam keadaan yang sudah stabil. Karena, jika waktu operasi tadi terlambat hitungan menit saja, mungkin ibu kamu tidak tertolong.”
Betapa senang hatinya, ketika mendengar bahwa ibunya sudah baik-baik saja. Tak henti-hentinya ia mengucap syukur. Telah terjadi hal yang luar biasa hari itu dalam hidup Andre.
“Besok, ibu kamu sudah diperbolehkan untuk kembali kerumah. Sekarang ibu kamu masih belum sadarkan diri. Namun jangan khawatir, ibu kamu akan segera sadarkan diri. Sekarang, kamu diperbolehkan masuk untuk melihat keadaan ibu kamu.” Kata sang dokter.
Andre segera masuk, sementara yang lain tetap diluar. Ia melihat kondisi ibunya, yang saat itu sedang terbaring lemah di kasur. Andre pun menunggu didekat ibunya. “Ibu baik-baik saja kan? Saat ini aku ada disini. Ada didekat ibu untuk menjaga ibu.” Katanya dalam hati.
Hari semakin sore, dan Andre memutuskan untuk menunggu ibunya dirumah sakit. Sedangkan kepala desa, Bu Desi, dan kedua teman Andre pulang kerumah.
Sekitar pukul 8 malam, ibunya Andre mulai membuka matanya. Sedikit demi sedikit, ia mulai sadarkan diri. “Andre? Andre? Dimana kamu?” Itulah pertanyaan pertama yang dikatakan oleh ibunya Andre. Andre yang saat itu sedang tertidur didekatnya terbangun. Andre pun segera menjawab, “Ibu! Andre disini! Syukurlah ibu sudah sadar!”
Kebahagiaan Andre meluap seketika. Betapa senang ia melihat ibunya sudah sadarkan diri. Andre mengungkapkan semuanya itu dengan bercakap-cakap dengan ibunya.
Keesokan harinya, kepala desa dan kedua temannya Andre kembali ke rumah sakit untuk menjenguk dan mengantarkan Andre dan ibunya pulang kembali kerumah. Selain itu, kepala desa juga membawa sejumlah uang tambahan hasil dari sumbangan warganya, untuk biaya rumah sakit sebesar 2 juta rupiah.
Keadaan ibunya Andre semakin hari berangsur-angsur membaik. Dan semenjak saat itu, Andre semakin meningkatkan kemampuan matematika yang ia miliki. Ia bersyukur dengan talentanya itu. Karena talenta pemberian Tuhan itulah, Andre bisa mendapatkan uang 5 juta rupiah untuk membiayai pengobatan ibunya.
Tak lama setelah itu, Andre juga mendapat pekerjaan baru. Ia menjadi seorang guru di salah satu SMA ternama di Jawa Barat. Selain itu, ia juga menjadi pelatih olimpiade matematika SMA nasional, yang mempersiapkan bakat-bakat matematika anak bangsa pada ajang International Mathematic Olympiad.

0 komentar:

Posting Komentar

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com